Polytron

Posted by M.Rezza Gunawan on 03.15

(Buat yang belum tahu) Polytron ternyata produk Indonesia asli

Polytron dan Perjuangan Industri Nasional

MELIHAT atau mendengar merek Polytron, boleh jadi yang terbayangkan adalah produk elektronik dari luar negeri. Padahal, sesungguhnya Polytron lahir di Tanah Air, di Kudus, Jawa Tengah (Jateng), yang kemudian menembus pasar Eropa, ASEAN, Timur Tengah, dan Australia. Bahkan, Polytron bisa dikatakan kini tinggal satu-satunya produk nasional-tanpa prinsipal-yang masih bertahan, setelah melalui perjuangan panjang dan gelombang pasang surutnya industri elektronik nasional. Kompas/andi suruji

Menurut yang punya merek, Polytron merupakan gabungan dua kata, yaitu poly yang berarti banyak, dan tron diambil dari kata elektronik. Jadi, Polytron diartikan sebagai kumpulan (banyak) elektronik. Barang elektronik, seperti produk audio, video, kulkas, mesin pengatur suhu udara (AC), dan pompa air merek Polytron sebenarnya lahir dari tangan putra-putri Indonesia di Kudus, Jateng, yang diakui pemiliknya kini menguasai 15 persen pangsa pasar produk elektronik nasional untuk produk sejenis.

Mengapa harus pakai merek Polytron yang seperti kebarat-baratan?

"Itu strategi bisnis. Waktu itu, kan masyarakat kita senang sekali dengan produk luar. Dan kami tidak berani mengiklankan produk kami. Sekarang kami sudah berani memberikan garansi dua sampai tiga tahun, karena kami yakin mutu produk kami," ujar Direktur Utama PT Hartono Istana Teknologi (HIT) J Arief Hartono yang memang turut membidani lahirnya industri ini.

Kisahnya, tanggal 16 Mei 1975, pemilik pabrik rokok PT Djarum mendirikan perusahaan bernama PT Indonesian Electronic & Engineering dengan modal disetor Rp 50 juta, untuk memproduksi barang elektronik. Waktu itu, perusahaan sejenis sudah banyak yang lahir dan boleh dikata sudah berkembang lebih dulu. Ini tantangan, sekaligus langkah revolusioner dari sebuah industri rokok yang melebarkan sayap bisnisnya ke industri elektronik. Apalagi, sejak awal, para pendirinya langsung mencanangkan, kelak industrinya ini harus mandiri, kendatipun tidak punya pengalaman di bidang industri elektronik. Tekad itu pula membuat pemilik usaha ini pun sejak awal enggan melibatkan modal asing. Karena itulah, perusahaan ini tidak memiliki prinsipal, sehingga perusahaan tidak perlu membayar royalti dari setiap unit produk yang dihasilkan dan dijualnya.

Setelah perusahaan berdiri, dua tahun kemudian, yakni 1977, direkrutlah 14 orang wanita yang ada di kota Kudus untuk dilatih menyolder demi keperluan perakitan komponen menjadi rangkaian suatu unit produk. Soalnya, mereka itu bukan berlatar belakang pendidikan teknik, melainkan lulusan SMEA dan SMA. Meskipun kemudian induk perusahaan, yakni PT Djarum, menempatkan empat orang teknisinya yang berlatar belakang pendidikan teknik ke perusahaan baru itu. Komponen-komponen radio kecil pun didatangkan dari Singapura untuk dijadikan bahan pelatihan bagi 14 wanita tersebut. Jadi dari tahapan inilah sebenarnya cikal bakal produk bermerek Polytron (juga beberapa merek lain seperti Digitec) berkembang setelah melalui berbagai hambatan dan tantangan. Ketekunan dan kemauan keras menjadi kunci suksesnya. "Ya, harus bagaimana. Kami ini kan latar belakangnya usaha rokok, tidak punya pengalaman di bidang elektronik. Mau tak mau harus belajar, belajar dan belajar," ujar Arief.

DI tahun 1977 itu pula, perusahaan mulai mengembangkan produk televisi dengan mendatangkan komponen-komponen dari Belgia. Itu bersamaan dengan alih teknologi dari Philips-MBLE Belgia. Di pabriknya di Kudus, komponen-komponen itu dirakit untuk diproduksi secara massal. Itulah produk televisi pertama yang mereka lepas ke pasar domestik, menandai sejarah baru kelompok usaha ini, dengan memunculkan merek Polytron. "Akan tetapi, kami gagal karena pasarnya tidak ada," tutur Arief. "Sudah televisinya besar, perlu ditambah lagi salon atau kotak. Semakin besarlah televisi itu," kata Arief lagi. Suka duka mengembangkan industri elektronik ini juga dirasakan saat barang dipasarkan ke toko-toko di Jakarta, Bandung dan kota besar lainnya. "Enggak ada toko yang mau menerima barang kami. Kadang-kadang pega-wai penjual (sales) kami malah disuruh si pemilik toko untuk mengantar barang, padahal kehadirannya di toko itu untuk menjelaskan produk kami kepada calon pembeli. Kami tidak punya brosur, sehingga produk harus diangkut ke toko untuk diperlihatkan dan dijelaskan kepada calon pembeli. Banyak orang yang melihat produk kami pun tidak mau. Bahkan, ada teman saya sendiri yang cuma mau menerima saya bertemu, tetapi tidak mau membicarakan produk kami. Ya, begitulah perjuangan kami. Saya alami sendiri yang namanya diusir pemilik toko," tutur Arief. Gagal tak berarti harus putus asa. Justru kegagalan itu menjadi cambuk untuk meraih keberhasilan dengan mencoba dan terus mencoba lagi. "Ya, memang kami orang rokok mau belajar elektronik, enggak bisa sekali jadi dong," katanya lagi.

Setir dibanting, dan arah haluan pun berubah. Dibeli lagi komponen-komponen produk-produk televisi dari Hongkong. Mulailah dirakit TV hitam-putih 20 inci. Saat yang sama, perusahaan mulai membentuk lembaga riset dan pengembangan yang kemudian membuat PT Hartono Istana Electronics (tahun 2000 berubah nama menjadi PT Hartono Istana Teknologi) menjadi manufacturer yang menciptakan sendiri disain produknya (self design product).

Meski demikian, produk lain juga dicoba, seperti memproduksi radio compo yang kemudian berkembang ke produksi audio yang semakin tinggi mutunya dengan sasaran kelas atas. Dengan bekerja sama dengan perusahaan televisi Salora, diakui Arief, perusahaan asal Finlandia yang kemudian terkenal dengan merek Nokia itu, cukup membantu dan membimbing Polytron dalam hal alih teknologi.
HIT kemudian berhasil mengembangkan teknologi hemat energi (40 watt) untuk TV warna 17, 20 dan 26 inci yang menjadikan merek Polytron semakin luas dikenal masyarakat Indonesia. Bukan hanya itu, televisi yang semula dengan daya listrik 40 watt, diubah menjadi 20 watt. "Saya kira ini yang pertama di dunia," ujar Arief bangga.
Usia perusahaan belum cukup 10 tahun, ketika sudah bisa meluncurkan produk hasil disain sendiri.

Sampai kini sudah belasan produknya dipatenkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Di tahun 1990, pangsa pasar produk TV warna audionya menjadi nomor satu di Indonesia. Pasar ekspor kemudian dijajal. Akan tetapi, Polytron tidak langsung berkibar dengan mereknya sendiri. Soalnya, buyer di Jerman hanya mau menerima produk Polytron itu kalau "bajunya" diganti sesuai keinginan buyer. "Padahal itu bulit-up, utuh produk kami. Mereka cuma ganti merek, seperti Cancer, Condor dan lain-lain," kata Arief.