Logo desain " Kekuatan dibalik simbol mini "

Posted by M.Rezza Gunawan on 07.13
oleh : M. Rezza Gunawan








Ada 6 Unsur-unsur (elemen) diperlukan dalam desain grafis dan sering digabungkan untuk menciptakan karya-karya grafis :


Bentuk


Dari Pictographs kuno sampai ke logo modern, bentuk adalah akar desain. Mereka digunakan untuk membuat layout, membuat pola, dan membangun banyak elemen pada halaman. Dengan perangkat lunak grafis seperti Illustrator, Draw mampu menciptakan dan memanipulasi bentuk yang lebih mudah dari sebelumnya, desainer memberikan kebebasan untuk menciptakan bentuk.

Garis

Garis digunakan untuk membagi ruang, memfokuskan mata, dan membuat bentuk. Pada tingkat yang paling dasar, garis lurus ditemukan dalam layout untuk memisahkan konten, seperti di majalah, koran, dan desain situs Web. Hal ini tentu saja dapat –lebih jauhnya, dengan melengkung, putus-putus, dan garis-garis zigzag digunakan sebagai elemen yang menentukan pada halaman dan sebagai dasar untuk ilustrasi dan grafis. Sering kali, baris akan tersirat, makna unsur-unsur desain yang lain akan mengikuti garis jalan, seperti ketika pada kurva.

Warna

Warna adalah elemen yang menarik desain grafis karena dapat diterapkan ke elemen lainnya, mengubahnya secara dramatis. Ini dapat digunakan untuk membuat gambar lebih menonjol, untuk menampilkan teks yang terhubung (linked) pada sebuah situs web, dan untuk membangkitkan emosi. Desainer grafis harus menggabungkan pengalaman mereka dengan warna dengan pemahaman tentang teori warna.

Huruf

Jenis huruf, tentu saja, ada di sekitar kita. Dalam desain grafis, tujuannya adalah untuk tidak hanya menempatkan teks saja pada artwork, tetapi lebih untuk memahami dan menggunakannya secara efektif untuk komunikasi. Pilihan font (tipografi), ukuran, alignment, warna, dan jarak semua ikut bermain. Jenis huruf dapat diambil lebih lanjut dengan menggunakannya untuk menciptakan bentuk dan gambar.

Tekstur

Tekstur dapat menunjukkan sebuah permukaan desain atau tampilan visual suatu desain. Pada kasus pertama, yang menyaksikan karya desain dapat benar-benar merasakan tekstur, menjadikannya unik dari elemen desain lain. Pemilihan kertas dan bahan-bahan dalam paket desain dapat mempengaruhi tekstur yang sebenarnya. Dalam kasus kedua, tekstur tersirat melalui gaya desain. Begitu kaya, visual grafis yang berlapis-lapis dapat menciptakan tekstur yang merupakan pencerminan dari kesan sebenarnya.

Gambar, Ilustrasi & Fotografi

Sebuah gambar yang kuat dapat membuat bagus atau menghancurkan desain. Foto, ilustrasi dan karya seni digunakan untuk bercerita, mendukung ide, dan merebut perhatian, sehingga memilih gambar adalah penting. Desainer grafis dapat membuat karya ini sendiri, membeli dari seorang seniman/ilustrator, fotografer, atau banyak website. namun kita bisa mendapatkan foto-foto gratis tapi bagus dan high resolusi dari www.sxc.hu dan www.123rf.com

LOGO

Logo merupakan gabungan dari berbagai elemen yang telah dijelaskan diatas. Kehadirannya merupakan salah satu bentuk eksistensi desain grafis di dunia ini. Logo adalah sebuah symbol yang seharusnya mampu menggambarkan pencitraan objek yang diwakilinya entah itu personal ataupun organisasi. Dalam penciptaanya logo merupakan salah satu tingkatan dalam desain grafis yang paling sulit dikerjakan, mengapa ? karena untuk membuat benda yang satu ini bukan hanya skill menggambar dan komposisi saja yang perlu dikuasai tetapi filosofi setiap elemen - elemen yang dipilih harus harus bisa berkaitan dengan komunikasi bawah sadar penikmatnya.

Contoh Logo fedex diatas, bagi anda yang belum tahu sebenarnya terdapat sebuah tanda panah diantara huruf e dan x nya, symbol panah ini digunakan sang perancang guna mengasosiasikan kinerja fedex sebagai perusahaan jasa pengiriman barang yang paling tahu mana arah yang paling tepat untuk mengirimkan pesanan, sehingga pengiriman bisa berjalan dengan efektif dan effien. Selanjutnya logo Carrefour, Carrefour adalah bahasa perancis yang berarti "persimpangan jalan". logonya menunjukkan panah yang saling membelakangi dan membentuk huruf "C". logo Carrefour dengan biru, merah dan putih memiliki arti komitmen yang berkesinambungan untuk pelanggan mereka lalu panah pada kedua belah pihak yang saling membelakangi mengartikan pelanggan datang mewakili bentuk segala arah dan bertemu di Carrefour.

Untuk meningkatkan kinerja logo maka harus dipilih warna - warna yang sesuai. Warna dianggap sangat penting dalam pembuatan logo namun warna tidak harus menjadi komponen integral dari desain logo yang bisa bertentangan dengan fungsionalitas. Beberapa warna terbentuk / terkait dengan emosi tertentu. Misalnya warna primer keras, seperti merah, dimaksudkan untuk menarik perhatian pengendara di jalan raya karena unsur warna merah yang mencolok sehingga sangat mudah ditangkap oleh mata. Di Amerika Serikat merah, putih, dan biru sering digunakan dalam logo untuk perusahaan yang menggambarkan semangat patriotik. Hijau sering dikaitkan dengan sektor kesehatan dan kebersihan, dan biru atau perak sering digunakan untuk mencerminkan makanan diet. untuk warna lain dengan saturasi rendah dapat diartikan sebagai kehandalan, kualitas, relaksasi, atau sifat-sifat lainnya. untuk lebih mudahnya bisa dilihat sebagai berikut.

WARNA Respon Psikologi Catatan
Merah Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya Warna Merah kadang berubah arti jika dikombinasikan dengan warna lain.
Merah dikombinakan dengan Hijau, maka akan menjadi simbol Natal.
Merah jika dikombinasikan denga Putih, akan mempunyai arti 'bahagia' di budaya Oriental.
Biru Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Tehnologi, Kebersihan, Keteraturan Banyak digunakan sebagai warna pada logo Bank di Amerika Serikat untuk memberikan kesan 'kepercayaan'.
Hijau Alami, Sehat, Keberuntungan, Pembaharuan Warna Hijau tidak terlalu 'sukses' untuk ukuran Global. Di Cina dan Perancis, kemasan dengan warna Hijau tidak begitu mendapat sambutan.
Tetapi di Timur Tengah, warna Hijau sangat disukai.
Kuning Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidak jujuran, Pengecut (untuk budaya Barat), pengkhianatan. Kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu.
Ungu Spiritual, Misteri, Kebangsawanan, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan Warna Ungu sangat jarang ditemui di alam.
Oranye Energy, Keseimbangan, Kehangantan Menekankan sebuah produk yang tidak mahal.
Coklat Tanah/Bumi, Reliability, Comfort, Daya Tahan. Kemasan makanan di Amerika sering memakai warna Coklat dan sangat sukses, tetapi di Kolumbia, warna Coklat untuk kemasan kurang begitu membawa hasil.
Abu Abu Intelek, Masa Depan (kayak warna Milenium), Kesederhanaan, Kesedihan Warna Abu abu adalah warna yang paling gampang/mudah dilihat oleh mata.
Putih Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidak bersalahan, Setril, Kematian Di Amerika, Putih melambangkan perkawinan (gaun pengantin berwarna putih), tapi di banyak budaya Timur (terutama India dan Cina), warna Putih melambangkan kematian.
Hitam Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kesedihan, Keanggunan Melambangkan kematian dan kesedihan di budaya Barat.
Sebagai warna Kemasan, Hitam melambangakan Keanggunan (Elegance), Kemakmuran (Wealth) dan Kecanggihan (Sopiscated)
Anda juga harus memilih warna yang sesuai dengan budaya target anda. Beberapa penelitian menujukkan bahwa respon setiap orang dari budaya yang berbeda akan berbeda.

Jenis - jenis logo

Setiap harinya, kita melihat banyak sekali logo bertebaran dimana-mana. Mulai dari logo-logo website ketika sedang browsing, sampai kepada logo-logo perusahaan maupun lembaga disepanjang jalan-jalan kota. Kita juga melihat berbagai macam variasi dalam logo-logo tersebut, Mulai dari yang elegan, simple, rumit, sampai yang aneh sekalipun ada. Namun demikian, pada dasarnya, logo itu hanya terbagi kepada tiga jenis saja.

Ketiga jenis logo Tersebut adalah, Icon logo, type/teks, dan logo dengan kombinasi antara keduanya.

1. Icon Logo

Icon logo adalah logo yang berdiri pada sebuah icon khusus. Sebagai contoh, logo Apple, Nike, MSN dan masih banyak lagi yang lainnya. Ikon logo sangat efektif jika logo lebih ditujukan untuk menanamkan brand karena sifatnya yang memorable (mudah diingat) dan simple.





2. Teks / Type Logo

Logo dalam jenis ini adalah logo yang berupa teks/typo, yaitu kumpulan huruf yang biasanya berupa nama atau inisial perusahaan terkait. contoh dari logo jenis ini dapat ditemukan pada logo Walt Disney, CNN, Fedex, dll.






3. Kombinasi Teks dan Logo

Logo jenis ini adalah kombinasi dari kedua jenis logo diatas, yaitu berupa perpaduan antara teks dan ikon. Jenis logo seperti ini adalah yang paling mungkin untuk memuat informasi lebih banyak, namun sangat riskan, mengingat ada lebih banyak item yang harus diletakkan sehingga ditakutkan akan tidak mudah untuk diingat. Untuk desainer logo, perlu kiranya untuk mengetahui jenis-jenis logo guna menentukan logo seperti apa yang akan anda buat agar menghasilkan hasil yang maksimal.


Kesalahan - kesalahan dalam membuat logo

Sebuah bisnis profesional harus terlihat profesional. pemilik bisnis baru sering menginvestasikan banyak waktu dan uang untuk berpromosi namun tidak pernah meluangkan sedikit waktu dan biayanya untuk mendesain log yang baik dan handal, padahal logo merupakan komponen penting ketika perusahaan telah mencapai titik kestabilan. Logo sebagai salah satu symbol mampu merepresentasikan nilai jual perusahaan tersebut sehingga hanya dengan melihat logonya saja orang sudah tahu perusahaan apa yang mereka pikirkan, hal ini bisa sangat membantu dalam kampanye perusahaan tersebut.

Berikut adalah alasan paling umum mengapa banyak logo terlihat amatir :
  • Pemilik bisnis ingin menghemat uang dengan mendesain logo dengan cepat sendiri.
    Seorang teman atau kerabat yang mengaku tahu tentang sedikit desain grafis apakah itu sebagai bantuan.
  • Orang yang salah yang ditugaskan. (Printer lokal tidak mungkin mahir dalam desain logo.)
    bisnis outsourcing pekerjaan melalui salah satu situs beberapa kompetisi desain, yang sebagian besar dihuni oleh desainer amatir " tidak semuanya amatir, karena ada beberapa freelancer yang ternyata berhasil membuat logo - log berkualitas tinggi "
  • pekerjaan ini diberikan kepada perusahaan online yang menawarkan logo benar-benar murah " tidak semuanya amatir, karena ada beberapa freelancer yang ternyata berhasil membuat logo - log berkualitas tinggi "

Berikut adalah keuntungan dari menyewa seorang perancang logo profesional:
  • Logo Anda akan menjadi unik dan mudah diingat.
  • Logo Anda akan memiliki siklus hidup lebih lama dan tidak perlu dirancang ulang dalam beberapa tahun.
  • Logo Anda akan terlihat sangat profesional.
Bagi anda yang tertarik menjadi seorang perancang logo handal sudah semestinya perlu memperhatikan proses pembuatan logo yang baik dan benar karena pada prakteknya, sering terjadi seorang desainer logo melupakan hal - hal sepele namun sangat menentukan hasil akhir.

Berikut beberapa kesalahan yang sering terjadi pada seorang desainer pemula :

1. Penggunaan software yang tidak sesuai

Standar praktik ketika mendesain logo adalah dengan menggunakan perangkat lunak grafis vektor, seperti Adobe Illustrator atau Corel Draw. Sebuah vektor grafis terdiri dari titik-titik matematis yang tepat, yang menjamin konsistensi visual di beberapa ukuran. nah terkadang ada beberapa orang menggunakan software yang bukan seharunya seperti adobe photoshop dalam mendesain logo. Sah - sah saja kita menggunakan adobe photoshop kalau memang kita mahir menggunakannya namun perlu diketahui bahwa sofware tersebut adalah raster grafik yang berbasiskan bitmap, bermain dengan skala piksel.

Menggunakan gambar raster untuk logo ini tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan masalah dengan reproduksi. Secara Photoshop adalah mampu menciptakan logo yang sangat besar, Anda tidak pernah tahu pasti seberapa besar Anda harus mereproduksi logo Anda di beberapa titik. Jika Anda memperbesar cukup pada raster grafik, akan muncul pixelated, sehingga tidak dapat digunakan. Menjaga konsistensi visual dengan memastikan logo terlihat sama pada semua ukuran sangat penting.


Keuntungan utama dari grafik vektor untuk desain logo adalah:
  • Logo dapat diskalakan untuk berbagai ukuran tanpa kehilangan kualitas.
  • Mengedit logo di kemudian hari jauh lebih mudah.
  • Hal ini dapat diadaptasi ke media lain yang lebih mudah dari citra raster.
untuk menjadi seorang desainer logo yang profesional mulailah menggunakan program - program khusus mendesain logo dari sekarang.

2. menggunakan stok vektor secara ilegal

kesalahan ini sering dibuat oleh pemilik bisnis yang desain logo mereka sendiri atau dengan desainer amatir yang tidak petunjuk-petunjuk untuk undang-undang mengenai hak cipta. Men-download gambar vektor saham dari website seperti VectorStock bukan merupakan tindak pidana, tapi mungkin bisa Anda dalam masalah jika Anda memasukkan dalam logo.


Sebuah logo harus unik dan asli, dan perjanjian lisensi harus eksklusif untuk klien: menggunakan saham seni istirahat kedua peraturan tersebut. Kemungkinannya adalah, jika Anda menggunakan gambar vektor saham, juga digunakan oleh orang di tempat lain di dunia, jadi Anda tidak lagi unik. Anda dapat dengan mudah melihat logo vektor saham karena mereka biasanya bentuk akrab, seperti bola dan siluet.

3. Relies on trends

Tren datang dan pergi yang akhirnya berubah menjadi klise. Sebuah logo yang dirancang dengan baik harus abadi, dan ini dapat dicapai dengan mengabaikan trik desain terbaru dan gimmicks. Para klise terbesar dalam desain logo adalah logo "menakutkan perusahaan," yang merupakan cara utama untuk bermain aman. Sebagai desainer logo, tugas Anda adalah menciptakan identitas unik untuk klien Anda, sehingga benar-benar mampu menciptakan logo yang abadi.

4. Designing For Yourself Rather Than The Client

Mungkin tanpa disadari kita sering melakukan kesalahan ini, penyebabnya biasanya ego seorang desainer yang sangat besar. Ketika kita menemukan sebuah font baru yang menarik terkadang kita tidak sabar untuk menerapkannya pada logo. kita harus jeli dan terus mengintrospeksi apakah font tersebut sesuai dengan bisnis yang dijalankan oleh kita atau klien kita ? Misalnya, tipografi huruf besar modern yang kita suka cenderung tidak cocok untuk sebuah bisnis yang serius seperti kantor pengacara maka jangan gunakan font tersebut. Memaksakan kepribadian kita ke logo adalah kesalahan yang sangat fatal. Tetap fokus pada kebutuhan pelanggan dengan tetap berpegang pada brief.

5. Overly Complex

Apa analogi yang lebih baik untuk gambar thumbnail dari sidik jari ? ya, benar sekali. kita hanya bisa melihat kerumitan sidik dari kita ketika melihatnya dari jarak dekat. namun ketika melihatnya dari jauh maka kerumitan itu akan seketika mengilang dari pandangan. Hal yang sama berlaku untuk desain logo yang sangat rinci.

Bila dicetak dalam ukuran kecil, desain yang kompleks akan kehilangan detail dan dalam beberapa kasus akan terlihat seperti noda atau lebih buruk lagi. Logo yang rumit pastilah memuat lebih banyak informasi sehingga orang yang melihat perlu memrosesnya dengan lebih sekssama untuk mampu menangkp pesan dari logo tersebut. Sebuah logo harus mudah diingat, dan salah satu cara terbaik untuk membuatnya mudah diingat adalah dengan mengedepankan kesederhanaan. Lihatlah identitas perusahaan Nike, McDonald dan Apple. Selain mudah diingat krena bentunya yang sangat sederhana logo ini dapat dengan mudah direproduksi disegala ukuran.

6. Relies On Color For Its Effect

Ini merupakan kesalahan yang sangat umum. terjadi. Dimana beberapa desainer tidak sabar untuk menambahkan warna pada desain mereka, bahkan beberapa desainer sangat mengandalkan warna untuk mencipta simbol mini tersebut. Dalam membuat sebuah logo penggunaan warna seharusnya menjadi kegiatan terakhir, maka memulai pekerjaan dalam hitam dan putih adalah yang terbaik.

Setiap pemilik bisnis harus menampilkan logo mereka tidak hanya dalam satu warna pada satu waktu atau lainnya, sehingga desainer harus melakukan tes untuk melihat apakah warna ini akan mempengaruhi identitas logo pada setiap keadaan. contoh simplenya seperti gambar diatas, bagaimna logo yang tadinya berwarna oranye dan cokelat menjadi seratus persen abu - abu ketika dicetak dengan format hitam putih, ini menunjukan bahwa pemilihn warna yang tepat harus dilakukan sehingga kesalahan - keslahan seperti ini tidak terjadi. Jika kita ingin menambahkan warna pada logokita, alangkah baiknya memilih warna yang tidak terlalu nyaru dan juga harus melakukan pengecekan ulang apakah tidak bermasalah ketika diprint dengan hitam putih.

8. Poor Choice Of Font

Ketika sedang membuat logo, memilih font yang tepat adalah suatu hal yang sangat penting bagi sorang desainer. Tidak sedikit desainer yang gagal membuat logo bermutu hanya karena gagal memilih font yang tepat (contoh kita menunjukkan Comic Sans terkenal).

Menemukan font sempurna untuk desain adalah tentang pencocokan font dengan gaya ikon logo kita. Tapi ini bisa rumit. Jika perbandingannya terlalu dekat, ikon dan font akan bersaing satu sama lain, hal ini bisa membuat orang yang melihat logo kita bingung mana fokus dari logo tersebut, apakah fontnya ataukah ikonya. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan yang tepat. Setiap jenis huruf memiliki kepribadian. Jika kita memilih font tidak mencerminkan karakteristik ikon itu, maka seluruh pesan merek akan macet.

Font Buruk sering dipilih hanya karena keputusan tidak diambil dengan serius. Font foundries Profesional, seperti MyFonts dan FontFont, menawarkan pilihan jenis huruf lebih baik daripada mereka yang menawarkan font gratis.

9. Has Too Many Fonts

Terlalu banyak memakai font yang berbeda bisa sangat mengacaukan logo yang kita buat. Menggunakan maksimum dua font bobot yang berbeda adalah praktik standar. Membatasi jumlah font untuk nomor ini sangat meningkatkan keterbacaan desain logo dan meningkatkan pengenalan merek.





masih banyak ilmu yang membahas tentang logo. ini hanya sebagian kecil dari ilmu tersbut, jadi bagi anda yang memiliki ilmu tentang ilmu logo alangkah baiknya dishare sehingga semakin memperkaya pengetahuan kita... Thx...






Pustaka :

www.wikipedia.com
www.kaskus.com
www.google.com
www.logolounge.com
www.davidairey.com

Women in advertise.....

Posted by M.Rezza Gunawan on 00.57
Pijar dunia periklanan memang tak pernah padam. Pesonanya tetap memikat, terutama bagi kaum hawa. Hal ini dibenarkan oleh Sylvina Savitri, konsultan SDM dari Experd. “Di dunia kerja secara umum, posisi wanita kerap digambarkan selangkah di belakang pria. Tapi, di dunia periklanan, bisa dibilang wanita lebih unggul,” ujarnya, serius. Menurut Sylvina, ada tiga ‘kekuatan’ wanita dalam berprestasi di dunia periklanan. Pertama, wanita lebih andal dan luwes dalam hal membina hubungan daripada pria, sementara sukses di dunia periklanan disokong penuh oleh kemampuan membina relasi. Kedua, wanita lebih sensitif dalam membaca karakter manusia daripada pria. Sangat sesuai, karena dunia periklanan bersifat people oriented. Ketiga, intuisi yang kuat merupakan elemen penting pada dunia kaya ide ini. Wanita dengan sejarah mengandung, merawat, dan memelihara diyakini mempunyai intuisi yang lebih tajam dan peka daripada pria.

Toh, walaupun banyak menawarkan peluang, dunia periklanan juga dikenal kaya akan tantangan. Insan yang berkutat di dalamnya dituntut untuk selalu kreatif dalam menuangkan ide dan mem–persuasi sekaligus memiliki ketajaman dalam membaca kebutuhan klien dan target audiensi. Layaknya orientasi di zaman kuliah, me–reka juga kerap digojlok habis-habisan oleh klien. Bukannya pujian yang didapat, setelah begadang semalaman, justru kritik pedas dan lirikan sinis atas ide yang dianggap tidak menjual. Karena itu, kelapangan dada dan kemampuan untuk terbuka terhadap kritik juga wajib dimiliki mereka yang ingin terjun di dunia ini.


Menurut cewe yang akrab dipanggil sylvi ini, dunia periklanan memang menjadi sasaran empuk kaum hawa. Apa saja kenikmatan yang ditawarkan dalam menggeluti profesi ini?
  • Lingkungan kerja dari media periklanan yang tidak kaku, baik dalam hal hubungan kerja maupun jam kerja (meskipun tetap menuntut kerja keras untuk memenuhi deadline). Hal ini diakui oleh Uning Prawasto. Dia diizinkan untuk sesekali pulang ke rumah pada pukul 14.00 untuk memberi ASI eksklusif bagi bayinya.
  • Dunia / media periklanan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengekspresikan diri dan ide.
  • Kreativitas, emosi, dan intuisi sangat dihargai di dunia /media periklanan.
  • Kesuksesan diukur dari kualitas, bukan kuantitas kerja.
  • Lebih berorientasi pada manusia, bukan barang ataupun data.
  • Penghasilan dan bonus memuaskan.
  • Busana kerja kasual dan chic.
So... buat para wanita yang merasa tertantang dengan pekerjaan ini ayo ramaikan dunia kreatif dengan karya - karyamu heee.. :b

source : ( femina online )

Media 'Online' Tak Akan Gantikan Cetak

Posted by M.Rezza Gunawan on 00.45
Tak dapat dimungkiri, pesatnya perkembangan teknologi mendorong media massa tradisional untuk memikirkan konvergensi. Meski begitu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto mengatakan, perkembangan media online tak akan mematikan media cetak. "Munculnya teknologi media baru tidak membuat media mati, tetapi mereka menyesuaikan diri," tuturnya dalam Gathering Kompas 100 bertajuk "Konvergensi Media" di XXI Lounge Plaza Senayan, Rabu (26/5/2010).

Hari mencontohkan buku yang sudah hadir sejak lima abad yang lalu. Menurut dia, hingga hari ini buku masih dibutuhkan oleh masyarakat meski teknologi internet sudah berkembang pesat. Bahkan disediakan gratis di beberapa titik wilayah di perkotaan pada umumnya. Oleh karena itu, Hari mengaku dirinya yakin industri surat kabar cetak masih akan terus berkembang.

Menurut Hari, keunggulan media cetak memang terletak pada wujudnya yang nyata. Selain itu, sifat beritanya lebih komprehensif. Jika media online menampilkan perkembangan terbaru dari berita, tetapi kadang sering kehilangan konteks berita, versi cetak menunjukkan liputan yang diketahui konteks, akurasi, dan kelengkapan narasumbernya. Kedua media tentu dapat saling melengkapi satu sama lain, bahkan dalam soal iklan sekalipun.

Wakil Direktur Bisnis Kompas Edi Taslim pun mengakui hal serupa. Menurut dia, media online tak akan bisa menggantikan media cetak selama keduanya dimanfaatkan dengan efektif dan efisien. Saat ini, pembaca Kompas e-paper mencapai 196.023 orang. Menariknya, 65 persen dari total pembaca e-paper tidak membaca Kompas versi cetak. Pembaca e-paper ini berumur 25 tahun ke bawah. "Mereka memang tidak membaca koran, tetapi internet. Kita happy dengan survei ini karena ada tambahan pembaca Kompas," ungkapnya.

Sementara itu, Hari menambahkan, perkembangan media online di Indonesia juga masih terbentur dengan persoalan infrastruktur internet, terutama untuk daerah. Potret akses internet memang masih didominasi di kota-kota besar. "Di perkotaan, aksesnya bagus. Bahkan ada yang digratiskan. Tetapi Indonesia bukan hanya Jawa. Problemnya infrastruktur. Ini problem yang kita hadapi. Akses belum merata," katanya.

sumber :
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/05/26/12454358/Media..Online..Tak.Akan.Gantikan.Cetak

Internet

Posted by M.Rezza Gunawan on 00.26
Secara harfiah, internet (kependekan dari interconnected-networking) ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking.

Internet pada saat ini

Internet dijaga oleh perjanjian bi- atau multilateral dan spesifikasi teknikal (protokol yang menerangkan tentang perpindahan data antara rangkaian). Protokol-protokol ini dibentuk berdasarkan perbincangan Internet Engineering Task Force (IETF), yang terbuka kepada umum. Badan ini mengeluarkan dokumen yang dikenali sebagai RFC (Request for Comments). Sebagian dari RFC dijadikan Standar Internet (Internet Standard), oleh Badan Arsitektur Internet (Internet Architecture Board - IAB). Protokol-protokol internet yang sering digunakan adalah seperti, IP, TCP, UDP, DNS, PPP, SLIP, ICMP, POP3, IMAP, SMTP, HTTP, HTTPS, SSH, Telnet, FTP, LDAP, dan SSL.

Beberapa layanan populer di internet yang menggunakan protokol di atas, ialah email/surat elektronik, Usenet, Newsgroup, berbagi berkas (File Sharing), WWW (World Wide Web), Gopher, akses sesi (Session Access), WAIS, finger, IRC, MUD, dan MUSH. Di antara semua ini, email/surat elektronik dan World Wide Web lebih kerap digunakan, dan lebih banyak servis yang dibangun berdasarkannya, seperti milis (Mailing List) dan Weblog. Internet memungkinkan adanya servis terkini (Real-time service), seperti web radio, dan webcast, yang dapat diakses di seluruh dunia. Selain itu melalui internet dimungkinkan untuk berkomunikasi secara langsung antara dua pengguna atau lebih melalui program pengirim pesan instan seperti Camfrog, Pidgin (Gaim), Trilian, Kopete, Yahoo! Messenger, MSN Messenger dan Windows Live Messenger.

Beberapa servis Internet populer yang berdasarkan sistem tertutup (Proprietary System), adalah seperti IRC, ICQ, AIM, CDDB, dan Gnutella.


Budaya Internet

Jumlah pengguna Internet yang besar dan semakin berkembang, telah mewujudkan budaya internet. Internet juga mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu, dan pandangan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, Internet melambangkan penyebaran(decentralization) / pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim.

Perkembangan Internet juga telah mempengaruhi perkembangan ekonomi. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka (dan sebagian sangat kecil melalui pos atau telepon), kini sangat mudah dan sering dilakukan melalui Internet. Transaksi melalui Internet ini dikenal dengan nama e-commerce.

Terkait dengan pemerintahan, Internet juga memicu tumbuhnya transparansi pelaksanaan pemerintahan melalui e-government seperti di kabupaten Sragen yang mana ternyata berhasil memberikan peningkatan pemasukan daerah dengan memanfaatkan internet untuk transparansi pengelolaan dana masyarakat dan pemangkasan jalur birokrasi, sehingga warga di daerah terebut sangat di untungkan demikian para pegawai negeri sipil dapat pula di tingkatkan kesejahterannya karena pemasukan daerah meningkat tajam.


Tata tertib Internet

Sama seperti halnya sebuah komunitas, Internet juga mempunyai tata tertib tertentu, yang dikenal dengan nama Nettiquette atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah netiket.

Untuk di Indonesia selain tata tertib sosial di internet juga diberlakukan peraturan (UU ITE).


Isu moral dan undang-undang

Terdapat kebimbangan masyarakat tentang Internet yang berpuncak pada beberapa bahan kontroversi di dalamnya. Pelanggaran hak cipta, pornografi, pencurian identitas, dan pernyataan kebencian (hate speech), adalah biasa dan sulit dijaga. Hingga tahun 2007, Indonesia masih belum memiliki Cyberlaw, padahal draft akademis RUU Cyberlaw sudah dibahas sejak tahun 2000 oleh Ditjen Postel dan Deperindag. UU yang masih ada kaitannya dengan teknologi informasi dan telekomunikasi adalah UU Telekomunikasi tahun 1999.

Internet juga disalahkan oleh sebagian orang karena dianggap menjadi sebab kematian. Brandon Vedas meninggal dunia akibat pemakaian narkotik yang melampaui batas dengan semangat dari teman-teman chatting IRCnya. Shawn Woolley bunuh diri karena ketagihan dengan permainan online, Everquest. Brandes ditikam bunuh, dan dimakan oleh Armin Meiwes setelah menjawab iklan dalam internet.


Akses Internet

Negara dengan akses internet yang terbaik termasuk Korea Selatan (50% daripada penduduknya mempunyai akses jalurlebar - Broadband), dan Swedia. Terdapat dua bentuk akses internet yang umum, yaitu dial-up, dan jalurlebar. Di Indonesia, seperti negara berkembang dimana akses Internet dan penetrasi PC sudah cukup tinggi dengan di dukungnya internet murah dan netbook murah, hanya saja di Indonesia operator kurang fair dalam menentukan harga dan bahkan ada salah satu operator yang sengaja membuat "perangkap jebakan" agar supaya si pengguna internet bayar lebih mahal sampai ber juta-juta rupiah!!, lainnya sekitar 42% dari akses Internet melalui fasilitas Public Internet akses seperti warnet , cybercafe, hotspot dll. Tempat umum lainnya yang sering dipakai untuk akses internet adalah di kampus dan di kantor.

Disamping menggunakan PC (Personal Computer), kita juga bisa mengakses Internet melalui Handphone (HP) menggunakan Fasilitas yang disebut GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (nirkabel) yang memiliki kecepatan koneksi 115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas (grafis dan multimedia). Teknologi GPRS dapat diakses yang mendukung fasilitas tersebut. Pen-setting-an GPRS pada ponsel Tergantung dari operator (Telkomsel, Indosat, XL, 3) yang digunakan. Biaya akses Internet dihitung melalui besarnya kapasitas (per-kilobite) yang didownload.


Penggunaan Internet di tempat umum

Internet juga semakin banyak digunakan di tempat umum. Beberapa tempat umum yang menyediakan layanan internet termasuk perpustakaan, dan internet cafe/warnet (juga disebut Cyber Cafe). Terdapat juga tempat awam yang menyediakan pusat akses internet, seperti Internet Kiosk, Public access Terminal, dan Telepon web.

Terdapat juga toko-toko yang menyediakan akses wi-fi, seperti Wifi-cafe. Pengguna hanya perlu membawa laptop (notebook), atau PDA, yang mempunyai kemampuan wifi untuk mendapatkan akses internet.


sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Internet


Iklan Online Melonjak 3 - 5 Tahun Lagi ?

Posted by M.Rezza Gunawan on 21.27
Meski diperkirakan cerah secara umum, masa keemasan bisnis media online di Indonesia masih butuh waktu. Jika mengacu pengalaman di beberapa kawasan di dunia, waktu 3-5 tahun dirasa cukup untuk mencapai pertumbuhan signifikan.

Pada saat bersamaan, bisnis media-media konvensional seperti surat kabar, majalah, dan televisi masih akan bertahan, meskipun dengan kondisi belanja iklan yang menurun. Industri sebagai pemasang iklan memilih untuk membagi uang mereka dalam bentuk belanja iklan ke media-media itu karena mengikuti kecenderungan konsumen.

"Kita lihat sendiri, konsumen secara simultan menggunakan macam-macam media. Saya menyebutnya tiga layar, yakni televisi, internet khususnya jejaring sosial, dan telepon selular. Jadi ketika pengiklan memasang iklan di media online ketika masa puncak itu datang, mereka juga tetap akan melakukan hal yang sama di televisi karena televisi tidak akan mati," kata Chairman sekaligus Chief Executive Officer Nielsen Online Japan, Charles Buchwalter, di sela-sela Forum Media Asia Pasifik (APMF) ke-4 Tahun 2010 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/6/2010).

Nielsen Online Japan membawahi semua riset pasar online di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Indonesia. Menurut Charles, belanja iklan di media online di Indonesia masih kecil, yakni berkisar 0-2 persen dari total belanja iklan industri di media-media yang ada. Persentase itu masih di bawah kondisi periklanan di media online di beberapa belahan dunia lain yang sebenarnya juga belum terlalu besar. Di Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa, misalnya baru sekitar 12-15 persen, serta di Jepang sekitar 10 persen.

"Ini cuma soal waktu saja. Pengalaman di AS dan Jepang, pertumbuhan belanja iklan meningkat dua kali lipat dalam 3-5 tahun terakhir. Ini yang saya kira akan terjadi pula di Indonesia. Semua akan melonjak cepat ketika para industri besar mulai memasang iklannya di media online," kata Charles.

Perkembangan internet di Indonesia

Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an. Saat itu jaringan internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, dimana semangat kerjasama, kekeluargaan & gotong royong sangat hangat dan terasa diantara para pelakunya. Agak berbeda dengan suasana Internet Indonesia pada perkembangannya kemudian yang terasa lebih komersial dan individual di sebagian aktivitasnya, terutama yang melibatkan perdagangan Internet. Sejak 1988, ada pengguna awal Internet di Indonesia yang memanfaatkan CIX (Inggris) dan Compuserve (AS) untuk mengakses internet.

Berarti, sejak hadir di indonesia sudah hampir 20 tahunan internet berkembang di negeri ini, sedikit demi sedikit mulai terjadi pergesaran kebiasaan masyarakat indonesia mulai dari bersosialisasi, membaca berita, membeli barang, dll. sehingga boleh dibilang setengah kehidupan manusia mulai beranjak ke dunia maya. melihat intensitasnya yang terus meningkat bukan tidak mungkin banyak pengiklan akan membelanjakan uangnya di internet. artikel diatas menyebutkan bahwa konsumsi iklan dengan medium internet terbesar ada di eropa, amerika, dan jepang. hal ini memang teknologi di negara - negara tersebut sangat menunjang hal tersebut. dari data speedtest.com dapat dilihat kecepatan internet di setiap benua :

Memang dari statistik yang didapatkan bahwa eropa merupakan benua dengan kecepatan internet tertinggi di dunia sementara asia hanya berada diperingkat ke - 3 . Semantara itu di tingkat regional indonesia masih berada jauh diantara negara - negara lain terkait masalah kecepatan akses internetnya :

1. 23.77 Mb/s Korea
2. 16.99 Mb/s Japan
3. 15.91 Mb/s Aland Islands
4. 15.82 Mb/s Latvia
5. 14.52 Mb/s Romania
6. 14.38 Mb/s Lithuania
7. 14.30 Mb/s Sweden
8. 13.64 Mb/s Netherlands
9. 13.29 Mb/s Bulgaria
10. 12.88 Mb/s Andorra
134. 1.29 Mb/s Indonesia

Bayangkan, Indonesia berada di peringkat ke 134 dalam masalah kecepatan internet. Kecepatan tertinggi dipegang oleh korea dengan 23.. Mb/s diikuti jepang dikisaran 16,99 Mb/s. Jepang sendiri membelanjakan iklannya di internet sebesar 10% sementara itu indonesia yang berada di peringkat 134 sudah berani membelanjakan iklan sebesar 0 - 2% sehingga memang bisa dikatakan peluang beriklan di media ini akan semakin besar kedepannya. pengguna internet di indonesia pada paruh 1999 hanya menyentuh angka 1 juta orang saja tetapi menginjak tahun 2010 terjadi lonjakan yang sangat fantastis yaitu mencapai angka 45 juta pengguna diseluruh indonesia mencakup pengguna komputer & ponsel. data yang dikeluarkan depkominfo menunjukan bahwa pengguna ponsel di indonesia saat ini adalah 170 juta, dimana 85 jutanya sudah dilengkapi fitur GPRS yang berarti sudah bisa menikmati internet. "Indonesia sendiri menargetkan separuh penduduknya sudah memiliki akses internet pada 2015 nanti sesuai dengan misi World Summit on the Information Society (WSIS). Jadi kalau ada 240 juta penduduk Indonesia, maka kita menargetkan 120 juta di antaranya sudah mengakses internet," pungkas dirjen postel. hal ini menunjukan internet memang sedang berkembang dan dikembangkan besar - besaran oleh indonesia

Ini merupakan acangan besar bagi industri iklan nasional sehingga kita harus menyiapkan diri sedini mungkin menghadapi perubahan tersebut. jangan sampai peluang yang begitu menggiurkan ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin karena media internet merupakan media yang sangat kaya akan fiture dimana kita bisa membuat iklan sepert print-ad, iklan tv, radio dsbnya..

sumber :

http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/06/03/1603125/Iklan.Online.Melonjak.3.5.Tahun.Lagi.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/06/03/1603125/Iklan.Online.Melonjak.3.5.Tahun.Lagi.





Sejarah periklanan Indonesia

Posted by M.Rezza Gunawan on 00.49

Sejarah periklanan di Hindia Belanda sangat berbeda dengan perkembangan di Eropa atau Amerika. Hal ini tidak terlepas dari keterbelakangan industri di Belanda sendiri kala itu, serta diterapkannya sistem ekonomi merkantilisme.

Iklan pertama di Hindia Belanda muncul bulan Agustus tahun 1744, bersamaan dengan surat kabar pertama, yaitu Bataviaasche Nouvelles di Batavia (Jakarta). Surat kabar ini dapat dikatakan merupakan surat kabar pemerintah Hindia Belanda, karena ia diterbitkan dan dicetak oleh Vereenigde Oost Compagnie (VOC). Kenyataannya, hampir seluruh halamannya dipenuhi iklan.

IKLAN PERTAMA DI HINDIA BELANDA

Perintis tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen Coen. Dia pendiri Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629. Dalam masa pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat di Ambon dengan judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya ditulis dengan tulisan tangan pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang indah ternyata merupakan refleksi pula dari naluri bersaing antara pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara rupanya terlibat dalam perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan Jan Pieterzoen Coen "menulis" iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh Portugis. Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles pada tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar pertama di Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa surat kabar dan iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda. Yang berperan dalam memediakan kembali iklan tersebut di Hindia Belanda adalah karyawan sekretariat dari kantor Gubernur Jenderal Imhoff, Jourdans. Surat kabar Batavia Nouvelles hanya berusia dua tahun.(5) Negeri Belanda, sejak abad ke-16 merupakan pusat penulisan silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan ini digunakan juga untuk penulisan iklan dalam bentuk poster.(6)

(4) G.H. Von Faber, A Short History of Journalism in the Dutch Indies. G. Kolf & Co., tanpa tahun terbit, hlm.13.
(5) Lucien Febre and Henri-Jean Martin, The Coming of the Book, London. Verso 1983, hlm.53.

IKLAN BUKU PERTAMA

Sejak Hindia Belanda diserahkan kembali oleh Inggris pada tahun 1812, percetakan surat kabar dikendalikan sepenuhnya oleh negara, meskipun perusahaan percetakannya yang berlokasi di negeri Belanda masih dimiliki dan dikelola oleh swasta. Sedangkan perusahaan percetakan buku yang juga dikelola oleh swasta dimulai tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Pada tahun 1842 perusahaan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert, karena sebagian besar sahamnya dibeli oleh perusahaan Knollaert. Perusahaan ini pun masih beralih tangan kepada Ukeno & Company, sebelum akhirnya dijual lagi kepada Bruyning Wijt. Perusahaan percetakan buku ini berpindah-pindah tangan, disebabkan kegagalan terus menerus dalam pemasarannya. Utamanya, karena mereka tidak dapat memanfaatkan periklanan akibat adanya larangan keras dari pemerintah kolonial. Baru pada masa Bruyning Wijt, perusahaan percetakan buku ini mengalami kemajuan, karena produk buku-buku mereka mulai dipublikasikan pula melalui iklan-iklan di surat kabar.

PERCETAKAN SURATKABAR OLEH SWASTA

Tahun 1829 pemerintah Hindia Belanda mendirikan suratkabar Nederland-Indisch Handelsblad. Hampir seluruh iklan di suratkabar ini juga ditulis tangan.(7) Suratkabar ini merupakan organ dari perusahaan swasta komersial yang dipimpin oleh Dus Bus de Gisignes, mantan Gubernur Jenderal (1813-1815). Dua suratkabar pemerintah terdahulu, Batavia Nouvelles dan Bataviaasch Advertentieblad, tidak bertahan lama, karena tahun 1833 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan yang mendukung penerbitan dan pencetakan suratkabar oleh swasta.

(7) Dr.C.W. Wormser, Drie en derting jaren op Jav, Ten Have, Adam 1944.

Sejarah mencatat pula beberapa suratkabar di luar Batavia (Jakarta). Misalnya, suratkabar mingguan Soerabaja Courant di Surabaya yang mulai terbit tahun 1833 dan baru menjadi harian empat tahun kemudian. Lalu tahun 1845 Oliphant en Compagnie, Semarang, mulai menerbitkan suratkabar mingguan Semarangsch Nieuws en Advertentiebald . Setelah kemenangan kaum liberal-demokrat di Belanda, berganti nama menjadi De Locomotief dan mulai terbit sebagai harian. Nama "lokomotif" yang digunakan suratkabar ini sekaligus dimaksudkan untuk memperingati pertamakali masuknya jalan kereta-api di Hindia Belanda membawa juga kemenangan bagi kaum pemodal. Maka semua suratkabar swasta di masa itu mulai bebas memuat iklan.(8)

(8) Untuk deskripsi ini lihat, J.S. Furnivall, Netherland-India: A Study of plural Economy. Cambrigde University Press, 1944, hlm.610; "Drukpers", Encyclopedia Nederland-India, hlm. 642-643.

Bataviaasch Advertentieblad yang tahun 1851 terbit kembali dengan nama Bataviaasch Iklanblad, setahun kemudian mengubah lagi namanya menjadi Java Bode. Suratkabar ini dimotori oleh Conrad Busken Huet sebagai pimpinan redaksi dan dicetak oleh W. Buining yang berkebangsaan Inggris yang datang ke Jakarta tahun 1848 sebagai pengusaha percetakan.

Belanda dengan kebijaksanaan pimpinan sebelumnya, Java Bode dilarang menyiarkan baik iklan-iklan pelelangan maupun iklan-iklan hasil pabrik. Mereka kuatir, timbulnya persaingan atau perang dagang sebagaimana yang pernah terjadi di Inggris dan Amerika. Meskipun tanpa iklan, Java Bode dapat bertahan selama 90 tahun, yaitu hingga masa invasi Jepang ke Indonesia.

Tahun 1858 Nederlandsch-Indisch Handelsblad pun berusaha bangkit kembali, tetapi akhirnya juga ditutup lagi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1867.

IKLAN-IKLAN PERTAMA MEDIA

Pemanfaatan iklan untuk menunjang pemasaran, juga sudah lama dikenal para pengelola suratkabar. Contoh khas surat kabar pertama ini adalah Tjabaja Siang, terbit di Minahasa tahun 1825, telah mengiklankan produk obat-obat tradisional. Tjabaja Siang adalah suratkabar pribumi yang pertama kali memanfaatkan iklan sebagai penunjang pemasaran, dan iklannya disebarluaskan hingga ke Eropa. Kemudian disusul oleh Soerabaja Advertentie Blad, Surabaya, terbit pertama kali tahun 1836. salah satu iklan dimasa tersebut "Nomor satoe soedah tidak bisa dapatkan lagi, oentoek itoe tjepat segera pesan langsoeng ke kantoor Redakteur "

(9) Dikutip dari, Sekilas Sedjarah Perdjuangan Perss Suratkabar sebangsa, diterbitkan oleh serikat Perusahaan Suratkabar (SPS), Djakarta 1958, hlm.214.

Surat kabar Bientang Timoor, Surabaya, bahkan telah menggunakan iklan untuk meluncurkan produknya. Dalam penerbitan nomor pertamanya ia telah memuat iklan:

Siapa siapa njang biasa trima soerat kabar bernama Bientang Timoor, soeka diteroeskan ini taon 1865, dikasi taoe njang oewangnja itoe soerat kabar, barganja f. 15, - bole lekas dikirimkan sama njang kloeawarken itoe soratkabar. (10)

(10) Bientang Timoor, 4 Djanuari 1865.

Atau suratkabar Surabaya lain tahun 1872 yang berbahasa Melayu, Bromartani, yang dalam nomor perdananya, juga telah memuat iklan:

Bermoelanja kita mengeloearkan kepada orang-orang njang soeka batja ini Soerat kabar, njang bergoena soeda terseboet didalam Soerat Kabar Oospost, jaini Soerat Kabar bahasa Melajoe sanget didjadiken pertoelangannja orang berdagang dinegrie Djawa soeblah timor.
Mangka segala orang berdagang njang soeka taroh satoe kabar dari dagang atawa belaijar, berseangkat, datang dari pendjoelan barang, harga oetawa dari lain2 kabar, ija boleh kirim di kantor tjitakan ini soerat di kota Soerabaja.(11)

(11) Bromartani Soerat Kabar Bahasa Melajoe, 3 Djanuari 1872.

sumber : PPPI
bersambung.........

it's advertising will survive in future

Posted by M.Rezza Gunawan on 08.16

Editor’s note: The following is a guest post by Eric Clemons, Professor of Operations and Information Management at The Wharton School of the University of Pennsylvania. In it, he argues that the Internet shatters all forms of advertising. “The problem is not the medium, the problem is the message, and the fact that it is not trusted, not wanted, and not needed,” he writes. The views he expresses are his own, and we present them here to foster debate. (Obviously, we hope there is a place for advertising on the Internet since it pays our bills). Update This post has obviously touched a nerve. Clemons responds to his critics below at the bottom of the post.

    1. There Must Be Something Other Than Advertising:

The expected drop in internet advertising revenues this year was neither unpredictable nor unpredicted, nor was it caused solely by the general recession and the decline in retail sales. Internet advertising will rapidly lose its value and its impact, for reasons that can easily be understood. Traditional advertising simply cannot be carried over to the internet, replacing full-page ads on the back of The New York Times or 30-second spots on the Super Bowl broadcast with pop-ups, banners, click-throughs on side bars. This might be a subject where considerable disagreement is possible, if indeed, pushed ads were still working in traditional media. Mostly they have failed. One newspaper after another is going out of business across the United States, and the ad revenues of traditional print media, even of highly respected magazines, is declining. The ultimate failure of broadcast media advertising is likewise becoming clear.

Pushing a message at a potential customer when it has not been requested and when the consumer is in the midst of something else on the net, will fail as a major revenue source for most internet sites. This is particularly true when the consumer knows that the sponsor of the ad has paid to have this information, which was verified by no one, thrust at him. The net will find monetization models and these will be different from the advertising models used by mass media, just as the models used by mass media were different from the monetization models of theater and sporting events before them. Indeed, there has to be some way to create websites that do other than provide free access to content, some of it proprietary, some of it licensed, and some of it stolen, and funded by advertising.

The idea that content has a price and net applications should find ways to earn a profit without providing free access to other people’s content gets explosive reactions; when virtual reality pioneer and tech guru Jaron Lanier suggested in a New York Times Op Ed that authors deserved to be paid for their content he actually received death threats. But other models are possible and several suggestions for alternative forms of monetization are offered below.

    2. Advertising will fail:

The internet is the most liberating of all mass media developed to date. It is participatory, like swapping stories around a campfire or attending a renaissance fair. It is not meant solely to push content, in one direction, to a captive audience, the way movies or traditional network television did. It provides the greatest array of entertainment and information, on any subject, with any degree of formality, on demand. And it is the best and the most trusted source of commercial product information on cost, selection, availability, and suitability, using community content, professional reviews and peer reviews.

My basic premise is that the internet is not replacing advertising but shattering it, and all the king’s horses, all the king’s men, and all the creative talent of Madison Avenue cannot put it together again. To analyze this statement we need a working definition of advertising, and I proposed the following, which is as general as I could make it:

Advertising is using sponsored commercial messages to build a brand and paying to locate these messages where they will be observed by potential customers performing other activities; these messages describe a product or service, its price or fundamental attributes, where it can be found, its explicit advantages, or the implicit benefits from its use.

It is frequently argued that the advertising industry will provide sufficient innovation to replace the loss of traditional ads on traditional mass media. Again, my basic premise rejects this, suggesting that simple commercial messages, pushed through whatever medium, in order to reach a potential customer who is in the middle of doing something else, will fail. It’s not that we no longer need information to initiate or to complete a transaction; rather, we will no longer need advertising to obtain that information. We will see the information we want, when we want it, from sources that we trust more than paid advertising. We will find out what we need to know, when we want to make a commercial transaction of any kind. The conventional wisdom is that this is exactly what paid search helps us to do, but all too often they are nothing more than a form of misdirection, as I explain further below. Instead, we will use information that we trust, obtained at the time that we want to see it.

Better targeting of ads using individual interests and individual behaviors will ensure that we do not bore or annoy as many people with each ad, but cannot address the trust issue. As for paid search, it is closer to other mechanisms that allow a website to sell access to potential customers. It works effectively as a revenue source for Google, of course. But it surely is not replicable for the average content website.

    3. Advertising will fail for three reasons:

There are three problems with advertising in any form, whether broadcast or online:

  • Consumers do not trust advertising. Dan Ariely has demonstrated that messages attributed to a commercial source have much lower credibility and much lower impact on the perception of product quality than the same message attributed to a rating service. Forrester Research has completed studies that show that advertising and company sponsored blogs are the least-trusted source of information on products and services, while recommendations from friends and online reviews from customers are the highest.
  • Consumers do not want to view advertising. Think of watching network TV news and remember that the commercials on all the major networks are as closely synchronized as possible. Why? If network executives believed we all wanted to see the ads they would be staggered, so that users could channel surf to view the ads; ads are synchronized so that users cannot channel surf to avoid the ads.
  • And mostly consumers do not need advertising. My own research suggests that consumers behave as if they get much of their information about product offerings from the internet, through independent professional rating sites like dpreview.com or community content rating services like Ratebeer.com or TripAdvisor

Yes, both network executives and their ad agencies have noted that we are not watching traditional ads, and they attribute this to the fact that we have moved beyond newspapers, televised network news, and broadcast movies, to video games, iPods, and the internet. Porting ads to a new medium will not solve the three problems noted above. The problem is not the medium, the problem is the message, and the fact that it is not trusted, not wanted, and not needed.

    4. Alternative models for monetization are available:

Again, my research suggests that there are three general categories for creating value that can be monetized, including selling real things, selling virtual things, and selling access. Some websites exist solely to sell real things. Many of the best-known perform aggregation of demand, so that there will be enough customers to justify stocking and selling items for which there is only limited demand. Amazon is merely the best-known example. Sites like Amazon and Zappos are especially good for long tail items … where else do you go for a copy of the Green Sea of Heaven, Elizabeth T. Gray’s magnificent translation of the Ghazals of Hafiz, or for a pair of size 20 basketball shoes? Selling real things online has been studied since the advent of interest in eCommerce and will not be discussed further here. Other websites sell virtual things. These activities fall into three categories:

  • Selling content and information, from digital music to news and information. Some of these sites are funded by subscriptions, like Gartner Research; some are by direct micropayments for purchases, like iTunes; and some currently attempt to fund themselves through advertising, like Business Week or The New York Times, while still searching for a more effective business model.
  • Selling experience and participation in a virtual community, including Second Life and World of Warcraft, Facebook and MySpace, Flickr and YouTube, or LinkedIn. Not all of these have found a way to charge for participation.
  • Selling accessories for virtual communities, like completed homes and stores, furnishings, clothing, and pets in Second Life or characters and accessories that would be difficult to earn in World of Warcraft, although this behavior is generally despised by serious World of Warcraft players.

Finally, some websites create and sell access to customers. Again, this can be divided into multiple categories.

  • Misdirection, or sending customers to web locations other than the ones for which they are searching. This is Google’s business model. Monetization of misdirection frequently takes the form of charging companies for keywords and threatening to divert their customers to a competitor if they fail to pay adequately for keywords that the customer is likely to use in searches for the companies’ products; that is, misdirection works best when it is threatened rather than actually imposed, and when companies actually do pay the fees demanded for their keywords. Misdirection most frequently takes the form of diverting customers to companies that they do not wish to find, simply because the customer’s preferred company underbid. Misdirection also includes misinformation, such as telling a customer that a hotel is sold out when, indeed it is still available, if the hotel has chosen not to pay a promotional fee, and then allowing the guest to choose an alternative property. Misdirection is, regrettably, still a popular business model on the net, although for reasons I explored in an earlier TechCrunch post on Google it seems ultimately to be unsustainable. More significantly from the perspective of this post, it is not scalable; it is not possible for every website to earn its revenue from sponsored search and ultimately at least some of them will need to find an alternative revenue model.
  • Evaluation, assessment, and validation. The opposite of sending a customer someplace other than where he wants is providing the customer enough information for him to make an informed choice on his own. Recommendations on TripAdvisor.com allow potential guests to evaluate and validate recommendations provided by Hotels.com; not surprisingly, Hotels.com originally owned TripAdvisor, and benefited greatly from it. Since Hotels.com did not attempt to influence or censor TripAdvisor content the website was (and is) trusted and helped put recommendations from Hotels.com at a level of trust comparable to those from an experienced travel agent. There are at present only a few other examples of website symbiosis like this, where community content on one site adds considerable value for another; consider also the relationship between the Beeryard’s list of new beers and Ratebeer.com, where clicking on the name of a newly arrived beer at the Beeryard will allow you to examine reviews on Ratebeer.com.
  • Social search. Social search is a way of tailoring search based on the user’s network of friends. Rather than searching for any hotel in Chicago, or for any hotel that paid for the keywords “hotel” and “Chicago” I would like to be able to ask for the hotel where my friends stay when they are in Chicago. This invades no one’s privacy, avoids the annoyance of pushing ads at me when I am not searching for something to buy, and provides more relevant results than paid search usually can deliver. There are many problems with this, including the fact that my friends may not be on Facebook or other networks yet and those that are may not post their hotel or automobile or restaurant preferences. Most seriously, while it is clear how Microsoft might benefit from this, using its Facebook connection to undercut Google sponsored search, it is not clear how Microsoft or any other firm could monetize this directly.
  • Contextual mobile ads. At present contextual mobile ads delivered by SMS appear to offer much promise. Imagine a hypothetical all-knowing information-based firm that (i) knows your location because you have registered to have the information from your in-phone GPS shared with your friends and (ii) knows that you like Thai restaurants because it monitors the content of your email and your online restaurant searches and (iii) knows that you are hungry because you just said so in a text message or Twitter post you sent from your phone. What a great time for them to text you an advertisement for a nearby Thai restaurant, sent directly to your phone. But why would you trust this? I remember when Hotels.com used to refer me to the same hotel, albeit at different prices, when I asked for a two-star or three-star hotel close to my office; I was never sure which was more amusing, the 80% price increase for the same hotel when I was willing to splurge on a three-star for my visitor, or the fact that there were comparable hotels 20 blocks closer to my office. I suspect that my hypothetical all-knowing firm will similarly be providing sponsored content; perhaps I will take a couple of additional seconds in order to find the restaurant I really want. This probably does not work as a form of advertising.

Of course no one knows yet, but if I had to guess, based on my meatspace experience, I would offer the following guesses for successfully monetizing the net in the future:

  • Selling Virtual Things: People will pay for superior, timely, original content and for superior online experiences. Presently I willingly pay for the Financial Times, The Economist, and Foreign Affairs, I value the content, and, indeed, I feel I need it; I will continue to pay for them online. Perhaps I would not be willing to pay for archive material, which I expect that I would be able to find elsewhere, but I will cheerfully pay for the newest content online. Similarly, I willingly pay the cover change for my favorite jazz clubs in New York, and expect that I would cheerfully pay to participate in Second Life or World of Warcraft if, indeed, I had any interest in those virtual experiences. I guess, ultimately, if we compete for status through our purchases of accessories, clothes and homes in meatspace we will probably continue to purchase virtual accessories in Second Life, though I can’t say I fully understand this yet.
  • Selling Access. Misdirection will fail totally and completely. I use a Mac, but I have abandoned Safari for Firefox. I have an iPhone and an iPod but I have never used the little white earbuds, preferring instead to purchase a pair of Shure E500 phones that I think sound vastly superior. Similarly, I would be equally happy to purchase a search service that worked for me, rather than accept a free one that works both against me and against the firms I patronize. In contrast, while people will continue to value community content and social search, these will be difficult to monetize. Finally, contextual mobile ads will, likewise be difficult to monetize. With information easily available, I will make my own restaurant choices, irrespective of those pushed at me via SMS, especially when I know that those pushed at me have been pushed for a fee, rather than based on an impartial assessment of my preferences. Yes, I can imagine SMS ads initially succeeding if they provide discounts, but ultimately this leads to little more than a bidding war for traffic and benefits no one other than the firm that provides the text messaging services. I can think of a few commercial SMS services that will benefit everyone, such as letting the most loyal guests of a restaurant know when it is still possible to get a reservation if they act immediately, eliminating the inefficiency of empty tables, but the restaurant will do this itself, using its email or cell phone contact lists. I don’t see this as advertising, or as being monetized by any intermediary. Of course, in an age before texting and email restaurants would have welcomed the all-knowing intermediary as the only mechanism available for communicating quickly with its most loyal customers. Now, restaurants have lists of their most loyal customers and can send out real time messages of interest. If the Blue Note were to text me on some night that I am in New York that it is still possible to get a table for two for Clark Terry, or Tria were to text me on a day when I was in Philadelphia that, surprisingly, there was no wait for an outdoor table right now, I’m sure I would respond to both. Of course there is no intermediary for this interaction, and this is more like direct communication than paid advertising.

The internet is about freedom, and I suspect that a truly free population will not be held captive and forced to watch ads. We always knew that freedom comes at a price; perhaps the price of internet freedom and the failure of ads will be paying a fair price for the content and the experience and the recommendations that we value.

(Photo by nickyfern).

Update: Response to comments

OK, guys. It’s time to calm down. I did not insult you, your families, your religions, or your rottweilers.

I may have presented a message you did not want to hear. Let me summarize it again, for those of you who appear to have commented on it without reading it:

  • Online advertising cannot deliver all that is asked of it. It is going to be smaller, not larger, than it is today. It cannot support all the applications and all the content we want on the internet.
  • And don’t worry. There are other things that can be done that will work well.
  • If you disagree with me, it would be helpful to think about the basic premises of the article and to refute them:

    • People don’t trust ads. There is a vast literature to support this. Is it all wrong?
    • People don’t want ads. Again, there is a vast literature to support this. Think about your own behavior, you own channel surfing and fast forwarding and the timing of when you leave the TV to get a snack. Is it during the content or the commercials?
    • People don’t need ads. There is a vast amount of trusted content on the net. Again, there is literature on this. But think about how you form your opinion of a product, from online ads or online reviews?
    • There is no shortage of places to put ads. Competition among them will be brutal. Prices will be driven lower and lower, for everyone but Google.

    Or you can continue to laugh, or to attack. That does not constitute a response, and it does not help you plan for the future. But a few parting thoughts may help you construct stronger attacks.

    • People whose experience is different from yours may still have experience. People whose industry contacts are different from yours may still have industry contacts.
    • I’ve been attacked and ridiculed before. I warned the floor traders in New York about the coming of online trading back in 1989 and was fired for it. I warned traditional people-based travel agents about dropping commissions and their eventual bypass through online booking systems and was ridiculed. I warned early investors in online grocery that it would not truly succeed as a mass-market offering for at least a decade and was ridiculed again. I warned investors in specific early online business-to-business exchanges, like Covisint, that sellers would not participate. All of these ridiculed me more politely. But most of them still cannot afford to buy me dinner now.
    • And even if you continue ridicule my piece, there are too many other professionals noticing the same thing. Consider the recent article in the Economist on essentially the same thing: advertising cannot fully support the net. You cannot ridicule everything you do not like off the net.

    So … those of you with commercial interests in online advertising … you can laugh at me. You can attack me. Or you can think about how you can protect yourselves and your companies against the changes that are going to come.

    I look forward to continued informed debate.


    source : http://techcrunch.com/2009/03/22/why-advertising-is-failing-on-the-internet/